IKLAN

Sejarah Gelar Budaya Di Negeri Belanda

Oleh Purwadi
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, 
HP. 087864404347

KlikJogja - 1. Njajah Desa Milang Kori di Benua Eropa. 

Budaya merupakan sarana untuk menjalin persahabatan antar bangsa. Gelar seni budaya di Negeri Belanda bisa mendekatkan tali persaudaraan. Diplomasi kenegaraan berjalan lancar, lumampah anut wirama. 

Boleh kiranya menoleh masa silam sejenak. Penjelajahan ke benua Eropa mengingatkan interaksi dengan bangsa Asia selama berabad-abad. Rombongan pentas keliling di berbagai kota: Denhaag, Amsterdam, Enschede, Volendam, Artez, Vrijdag dan Prismare. Di sela-selanya diadakan kunjungan sebentar di negeri Jerman, tepatnya di kota Utrech. Dengan penjadwalan yang cukup ketat dan disiplin di tiap-tiap kunjungan itu diadakan pagelaran seni.

Selama di Belanda Tim akan dipandu oleh Atase Pendidikan Belanda, Bapak Ramon Mohandas Ph.D, juga Prof. Dr. Annie Makkind yang merintis kerjasama seni ini sejak awal. Pada awal tahun 2010 bahkan Prof. Annie pernah memberi briefing wejangan di rumah makan Boyong Kalegan di Kaliurang Yogyakarta. Persiapan yang menakjubkan ditunjukkan oleh Bapak Frank Deiman. Beliau adalah Ketua Jurusan Seni Musik Artez Concervatorium Enschede.

Patut dicatat bahwa Kunjungan Seni budaya kali ini tidak cuma pentas saja. Statusnya berbeda dengan rombongan pengamen atau sekedar PY (payu). Lebih dari itu, tim seni merupakan duta budaya. Di samping menggelar seni, tim Seni Budaya berkewajiban untuk mengajar seni di tiap-tiap kota tersebut dengan dilakukannya workshop dan konser. Tim ini menjadi wakil bangsa Indonesia untuk mengajarkan seni budaya adi luhung kepada bangsa Belanda.

Pagi pun tiba, fajar menyingsing. Indah sekali dipandang dari pesawat. Tampak warna biru, kuning dan ungu menyala. Tak lupa sholat subuh dan dzikir. Subhanallah, nikmat Allah mesti disyukuri. Sarapan nasi gurih (sega uduk) segera hadir dengan minuman teh hangat. Kami sarapan dengan lahap.

Rombongan yang sedang berdarma wisata di kota Amsterdam, Denhaag akan berpendapat bahwa kota itu dibangun karena jasa orang Indonesia. Hasil bumi dan alam Indonesia menjadi modal yang berharga. Perumahan penduduk Nederland sungguh teratur. Jangan lupa bahwa modalnya tetap berasal dari tanah jajahan. Mendhem jero mikul dhuwur, nenek moyang tetap berkontribusi tinggi terhadap kemajuan peradaban bangsa Belanda. Sikap yang tepat perlu dibangun dan dikembangkan sehingga tidak terjadi sikap yang berlebihan. Apalagi silau layaknya budak yang membungkuk. Tidak boleh.

Sebenarnya dalam perspektif psikologi orang Indonesia terjadi jiwa yang terbelah. Terkait dengan Belanda, sejak jaman orde lama, orde baru dan orde reformasi banyak kelirunya. Setelah merdeka para diplomat Indonesia kalah telak menghadapi kemampuan diplomat Belanda. Penyebabnya sederhana, para diplomat kita mengandalkan kemampuan orasi lisan. 

Sementara diplomat Belanda selalu melengkapi dengan data, fakta dan analisa. Celaka sekali hasilnya. Hingga saat ini bangsa Belanda hanya mau mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 setelah kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar di Denhaag.

2. Pagelaran Wayang di Kota Denhaag. 

Pertunjukan wayang purwa di KBRI Belanda tanggal 26 September 2010. harinya sore kira-kira pukul 17.00 waktu Belanda. Kalau di Indonesia sudah pukul 23.00 WIB. Selisih waktu Indonesia Belanda memang 6 jam. Bagi kami perbedaan waktu memang agak mengejutkan. Kadang-kadang jadwal menjadi agak kacau.

Tepat dengan jadwal yang ditentukan, Pak Dubes pun datang. Acara pentas seni segera dimulai. MC membawakan urutan acara. Dia seorang putri yang berjilbab. Seremonial dilakukan sesuai dengan standar protokoler. Sambutan pertama oleh atase kebudayaan, yaitu Pak Ramon Mohandas. Lalu dilanjutkan Pak dubes. Kebetulan yang menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Belanda adalah Bapak Fanani Habibie. Beliau adalah adik kandung mantan Presiden BJ. Habibie. Terlebih dulu dilakukan dua gendhing soran untuk menyambut kedatangan tamu agung, Ladrang Sigra Mangsah dan Lancaran Kebo Giro.

Suasana sungguh sangat berwibawa, khidmat, tertib, terhormat dan akrab. Penonton yang diundang diantaranya Perkumpulan Pelajar Indonesia, Mahasiswa Pasca Sarjana, Staf Kedubes, Pejabat Deplu dan pariwisata. Penontonnya orang terpilih, sebagian dari mereka adalah para alumni UGM. Lebih dari 15 tahun lamanya tidak berjumpa.

Kemudian dilanjutkan dengan pagelaran wayang purwa. Kami mengambil lakon Ramayana. Pertimbangannya adalah cerita ini sangat populer. Semua warga dunia pasti mengenalnya. Harapannya agar mudah diterima dan tidak sulit diikuti. Cerita yang sangat panjang itu kami ringkas, diambil bagian yang penting-penting saja. Tokoh-tokohnya tidak semua dilibatkan. Jejer pertama Rahwana, Kala Manca, Paddhas Gempal, Buto Terong dan Togog. Biar ada sedikit humor, Buto Terong saya beri dialek bahasa Belanda. Namanya saya ganti menjadi Ditya Kala George Bush. Penonton pun tertawa ger-geran.

 Antawacana, suluk, lagu, keprak, dhodhogan dan alur cerita memang digarap secara matang. Tujuh bulan lamanya latihan serius. Target yang kami karapkan pun terpenuhi. Semua penonton secara bergilir memberi ucapan selamat. Satu per satu semua pengrawit dan dalang disalami. Saat itu aula memang penuh. Jumlah kursi tidak tersisa, bahkan sebagian rela berdiri. Mungkin mereka haus seni budaya. 

Jauh di negeri orang, tentu pikiran kerap melayang, rindu kampung halaman. Terlebih-lebih yang pisah dengan anak dan istri, perasaan kangen selalu menggebu. Barangkali pentas wayang purwa ini merupakan obat rindu yang mujarab. Seolah-olah mereka kembali di negaranya sendiri. Seni ternyata kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi juga. Kita seharusnya merumuskan pemenuhan kebutuhan seni dengan program pentas yang jelas.

Sambutan hangat terus berlanjut sampai usai pertunjukan. Saat makan malam kami berbincang-bincang ngalor-ngidul. Beragam tema yang dibicarakan. Umumnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan kekayaan seni budaya, adat istiadat, historis, tanaman, kuliner dan binatang. Indonesia sungguh beruntung memiliki aneka ragam kekayaan. Tinggal mengolah, menjaga dan melestarikan jangan sampai rusak, apalagi punah. Generasi mendatang harus diwarisi dengan sesuatu yang berharga.

Hadirin yang diundang mengajak foto bersama. Kehadiran kami bak artis yang populer. Sana-sini ingin potret bareng. Hati kami jadi tersanjung. Lebih bahagia lagi karena anak muda yang tidak peduli dengan warisan budaya bangsanya tergugah lagi semangat nasionalismenya. Mereka jangan sampai kepaten obor atau tercerabut dari akar budaya bangsanya. Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane. Kesempatan masih terbuka luas.

Sebagian dari penonton itu malah mengajak kami berputar-putar kota Denhaag. Kota ini menjadi tempat tinggal Ratu Belanda. Hawanya sejuk, bersih dan segar. Boleh dibilang kota klasik. Gedung-gedung tua dengan arsitektur kuno tentu memikat siapa pun. Wajar bila bangunan klasik peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga sekarang tetap berdiri kokoh, tegak, kuat dan tak pernah lapuk. Kewibawaan bangunan itu tetap saja terpancar.

Kami menginap di Wisma KBRI. Sebelahnya ada asrama mahasiswa Indonesia. Tak jauh dari situ terdapat Sekolah Budaya Indonesia. Kanan kiri terlihat bangunan berjajar indah dan megah. Ternyata kota ini memang tempatnya orang kaya. Rumah-rumah bagus dengan perabot legnkap mesti milik orang berduit. Sifat klasik kota Denhaag mengingatkan kami pada legenda kota Surakarta Hadiningrat, sebuah kota klasik Jawa yang menyimpan beragam keunggulan.

Penonton berkebangsaan Belanda bernama Prof. Dr. Annie Makkind merupakan orang yang simpatik dan hangat. Kami diberi hadiah jaket, satu per satu kami disuruh memilih yang cocok. Dengan menggunakan kendaraan bus, beliau dan rombongan membawa kami berkeliling kota Denhaag dan Amsterdam. Bus itu cukup bagus. Sopirnya orang Belanda yang gagah dan tampan, siap membantu apa saja. Tidak usah diperintah, dia pasti melaksanakan tugas dengan baik. Terkadang ada perasaan malu, ewuh pakewuh. Kenapa dia melayani kebutuhan kami? Padahal kamilah seharusnya yang ikut cancut tali wanda.

Di perjalanan Prof. Annie berlaku sebagai pemandu yang miraga, mirasa dan micara. Kota Denhaag ditelusuri melalui jalan tikus. Kalau lewat jalan tol katanya akan terasa membosankan. Mulai dari gedung-gedung pemerintah, perumahan penduduk, sekolah, naik sepeda, domba, sapi dan kerbau. Satu demi satu dijelaskan. Kadang-kadang diselingi dengan nyanyian. Orang ini sungguh luhur budinya. Kami mesti meniru.

Njajah desa milang kori, keesokan harinya, yaitu hari Senin tanggal 27 September 2010 kira-kira jam 09.00, beliau tiba di penginapan Wisma KBRI menjemput kami untuk diajak rekreasi di kota Amsterdam. Naik bus turun di tengah-tengah kota lantas naik perahu menelusuri kota.

Kanal-kanal di Amsterdam berfungsi sebagai jalan dan tempat wisata. Berputar-putar kota Amsterdam dengan perahu sungguh pengalaman baru. Sungainya bersih, lebar dan terawat. Andaikan kali Ciliwung dipelihara dengan baik, kota Jakarta pun tak kalah dengan kota Amsterdam. Jakarta, Surabaya, Semarang, Kediri, Madiun, Solo, Yogya, Bogor dan Bandung punya sungai, tetapi kondisinya selalu menyedihkan. Faktanya kita kaya, tetapi malas untuk menjaga.

Seandainya sampah-sampah tidak dibuang di sungai, seandainya kotoran tak berserakan, seandainya plastik tidak menggunung, kota-kota di Indonesia akan tampak sangat indah. Bisa mendatangkan rejeki. Merupakan kekayaan yang berlimpah ruah. Perlu ada pelajaran khusus yang menyadarkan fungsi sungai. Mungkin pernyataan ini sudah biasa dan terasa menjemukan. Usulan ini ringan dan mudah.

Modernitas ternyata tak harus ditunjukkan dengan sifat konsumtif. Di kota-kota besar di Eropa ternyata banyak ditemukan orang bersepeda. Jarang orang menggunakan sepeda motor. Penggunaan sepeda onthel juga dilakukan oleh para menteri, gubernur, hakim, jaksa dan anak sekolah. Di sinilah teori dan praktek sosial benar-benar diterapkan. Satunya kata dan perbuatan, ber budi bawa laksana.

Ada gedung yang terkenal di kota Amsterdam, namanya gedung Batavia. Ternyata nama ini lebih terkenal dibanding dengan Indonesia. Kata Batavia tetap dianggap bernilai sejarah oleh bangsa Belanda. Rupa-rupanya banyak warga Nederland yang selalu bermimpi untuk mengunjungi negeri Hindia Belanda yang beribu kota di Batavia. Peristiwa historis tersebut merupakan lambang kejayaan nenek moyangnya.

Selintas kilas kami menjumpai pasar tradisional yang menjual benda-benda bekas. Namanya Pasar Surabaya. Kayaknya banyak orang Jawa Timur yang tinggal di sekitar pasar klithikan ini. Warga Indonesia sebagian telah menjadi warga negara Belanda. Mereka mencari penghidupan di sini. Beranak pinak dan krasan di kota Denhaag. Orang Indonesia berlalu lalang, ketemu sedulur sendiri.

Selama 3 jam mengamati kota Amsterdam, perjalanan kami lanjutkan ke pantai Volendam. Lagi-lagi kami ingat Pantai Genjeran, Popoh, Marina, Banten dan Ancol. Sebenarnya pantai di Belanda indahnya tak seberapa, tapi dirawat dengan baik. Nasib pantai di Indonesia lagi-lagi sama dengan sungai, pasirnya kotor oleh sampah plastik yang tak kunjung diatasi. Semoga saja cepat sadar.

Ketika masuk di studio foto, ada dua pengunjung Indonesia yang dijadikan kebanggan Pantai Volendam. Mereka adalah tokoh besar Indonesia, Gus Dur dan Megawati. Tokoh politik ini cukup populer. Namanya memang mendunia. Kita pantas berbangga. Dua presiden Indonesia menghiasi layar dunia, cukup menyejukkan hati.

Ber bandha ber bandhu, bahwa orang hidup itu mesti banyak sedulur. Dengan kata lain perlu menjalin tali silaturahmi. Sungguh mengharukan lawatan seni kali ini. Tanpa diduga tanpa dinyana, semua berjalan berkat bantuan seorang sahabat baru. Kebetulan beliau berasal dari Indonesia. Beliau membantu kami bersama seluruh anggota keluarganya.

Datang di Bandara Amsterdam disambut oleh keluarga Bu Ningsih. Asalnya dari Ambarawa Semarang, Jawa Tengah. Bermukim di Belanda sejak tahun 1999. Suaminya bernama Robbi, warga negara Belanda. Leluhurnya berasal dari Belgia. Pasangan suami istri ini menunjukkan kemurahan, keramahan dan ketulusan. Anaknya bernama Ferly yang sudah beristri pula, namanya mbak Messy. Pasangan muda ini tidak kalah sibuknya. Ferly dan Messy selalu cerah dan mesra. Kedua insan ini bertemu jodoh saat sama-sama kuliah di Utrich.

3. Artez Conservatorium Di Kota Enschede

Programma Lunchconsert 28 september 2010 12.30 uur Arkezaal Muziekcentrum. Rombongan UNY tiba di kota Enschede diantar oleh Bu Annie, Bu Ning Wonosobo, Bu Diet, Pak Anton dan Pak Frank. Kami menginap di hotel Amadeus. Semalaman istirahat. Wayang dan jaran kepang dititipkan pada petugas gudang. Tenaga harus dihemat. Hawa dingin lagi pula hujan gerimis terus menerus.

Pukul 4 pagi kami bangun, mandi, sholat subuh dan merapikan kamar tidur. Satu per satu barang kami cek dengan teliti. Pukul 09.00 lantas makan pagi, menunya roti dan telur. Sebelumnya telah diberi hidangan kentang serta minuman teh kopi. Kalau boleh diminta sebenarnya kami berharap suguhan nasi.

Artez adalah perguruan tinggi di kota Enschede yang mengkaji soal seni. Di Indonesia seperti Institut Seni Indonesia (ISI) dan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia). Bersama dengan dosen dan karyawan serta mahasiswa Artez, kami belajar musik modern dan tradisional. Sejak pagi kami main musik bersama, hasilnya cukup menggembirakan. Semua pihak tampak berseri-seri, senang hatinya.

Mahasiswa Artez belajar seni gamelan pada kami. Mereka main: kendang, kempul-gong, kenong kethuk, saron, demung, peking, boning, gender, slenthem. Musik modern dan tradisional ini dimainkan secara kolaboratif. Acara kemudian dilanjutkan dengan menonton konser makan siang pada puukl 12.30. Tempatnya di Arkezaal Muziekcentrum. Penontonnya penuh sesak. Tidak ada kursi tersisa dalam gedung tersebut. Suasana hening dan khidmat. Musiknya bernada klasik. Kalau kami amati musik seperti ini pantasnya untuk suguhan para bangsawan. Adapun informasi dan komposisi lengkapnya: Davy de Wit 7 snarige bas, piano, ppy Noya, percussie,  Sebastian Altekemp piano mmv Ruth van der Kloor, zang.

Saat menonton ini saya duduk bersebelahan dengan bu Endang Hendrawati. Beliau adalah pejabat dari Depdiknas, sekarang Kementerian Pendidikan Nasional. Sejak berangkat sampai di Belanda, beliau mengarahkan dan membimbing kami. Bagi kami, beliau adalah pelita harapan. 

Kesan kami, konser musik ini terlalu serius. Tak ada suara yang berbunyi selain alunan tenang musik. Herannya, para penonton tetap setia menyaksikan. Tidak ditemukan suara berisik yang mengganggu. Mereka yang tak kebagian kursi, dengan rela duduk lesehan di lantai. Wajah mereka terlampau menikmati. Bagi kami penampilan musiknya cuma begitu-begitu saja. Pemuda-pemudi Indonesia pasti bisa melakukannya. Tinggal dibangun tradisi dan suasananya saja.

Pada dasarnya pentas musik ini dikemas dalam bentuk sangat sederhana. Tidak perlu biaya besar. Kadang-kadang pentas musik di Indonesia membutuhkan biaya yang tinggi. Makanya jarang bisa tampil dengan alasan kendala dana. Tiap-tiap mahasiswa musik mesti belajar manajemen panggung jangan sampai ada beban. Dibuat yang prasaja.

4. Mampir ke Negeri Jerman

Imajinasi kami mengenai Jerman menjadi realitas pada tanggal 29 september 2010. Masa tunggu selama 20 tahun setelah tamat dari SMA. Tidak rugi belajar bahasa Jerman tahun 1988-1990. Zu dir oh Herr, blicht Alles auf. Hanya kepada Tuhan segalanya kami serahkan. Kunjungan ke Jerman ini mirip studi banding. Komparasi antara kebudayaan Belanda dengan kebudayaan Jerman.

Jarak antara kota Enschede dengan Jerman sangat dekat, lebih kurang 5 km. Kalau di Yogyakarta mungkin sejauh Malioboro dengan Terminal Jombor. Cukup ditempuh 15 menit. Di Jerman kami mengunjungi benteng. Dulu tempat ini sebagai markas perang. Temboknya tebal, cocok untuk penampungan keluarga bangsawan. Dibangun dengan ketinggian 25 m. Tampak kokoh. Bahan bangunannya mirip candi Borobudur. Bangunan benteng ini didirikan 1 tahun sebelum masehi. Jadi sudah berusia sangat tua.

Di tengah perjalanan kami menyaksikan kebun jagung yang amat luas. Makanya jagung di Indonesia tidak laku dijual. Petani kita perlu improvisasi biar bisa bersaing dan hidup makmur. Baik Jerman dan Belanda juga mengembangkan peternakan. Kuda, sapi perah dan domba mudah dijumpai di persawahan. Mereka tahan dingin, bahkan saat hujan pun para hewa peliharaan tersebut tetap berada di padang rumput.

Pepohonan di pinggir jalan tumbuh rindang. Di sini semua pohon dilindungi undang-undang. Penebangan pohon harus mendapat ijin dari pemerintah. Pelanggaran terhadap undang-undang ini akan dihukum dan didenda berat. Bunga-bunga sedap malam indah sekali, berwarna-warni sejuk dipandang mata. Kuning, biru, merah, jingga, ungu, hijau, nila dan putih. Tidak ketinggalan burung-burung beterbangan bebas. Tidak ada ceritanya burung ditembak dan diplintheng. Aneka ragam burung, bunga, pohon dan sungai dijaga betul.

Program kegiatan berikutnya adalah mengunjungi kantor walikota Enschede. Gedungnya jelas megah, indah, kokoh. Pintu, ruang, lantai, tembok, langit-langit, hiasan dan segala atributnya serba memancarkan aura kewibawaan. Kecemburuan kami kambuh lagi. Biaya pembangunan gedung walikota ini pasti diambil dari negeri Nusantara. Sentimen bekas orang dijajah kambuh kembali.

Bayangan sebelum datang, kami akam menjumpai bangunan pendopo dan joglo. Ternyata tidak sama sekali. Gaya bangunan sama dengan gedung sebelahnya. Pengamanan longgar sekali, tanpa satpam berbaju seragam. Tiap-tiap orang boleh keluar masuk kantor walikota. Protokoler tidak ketat. Kesan angker, angkuh, anggak, angah-angah pasti lenyap. Karyawannya juga sedikit. Sangat berbeda dengan kantor kabupaten dan walikota di Indonesia, hampir dipastikan penuh pegawai.

Kunjungan warga Belanda ke kantor-kantor pemerintah merupakan hal biasa. Dua-duanya saling menghormati. Petugas dan pejabat memiliki tugas masing-masing. Pejabat dihormati karena jasa, posisi, pengabdian serta pelayanannya. Sedangkan rakyat amat dipedulikan karena mereka sesungguhnya pemilik kedaulatan. Tanpa rakyat, pejabat tidak ada artinya. Rakyat adalah juragan atau majikan. Namun demikian, keduanya tidak boleh saling menindas, harus bekerja sama yang saling menguntungkan.

Tertib administrasi membuat bangsa mana pun akan mudah menyelesaikan problematika kolektif. Disiplin pada kerja membuahkan produktivitas. Ujung-ujungnya adalah tercapai kesejahteraan yang merata. Semua warga negara berhak memperoleh penghidupan yang layak sebagai wujud kemanusiaan. Kita pantas berguru pada siapa saja yang memberi teladan akan kebaikan, kebajikan dan kemajuan. Tidak usah malu-malu bahwa kita ini mesti banyak belajar. Kesengsaraan, ketertinggalan, saat ini segera kita atasi. Dalam waktu dekat cita-cita luhur itu kasembadan.

Pasar ilang kumandhange, kali ilang kedhunge, memiliki makna yang sangat dalam. Begitulah ungkapan lengkap bahasa Jawa yang mengacu pada konsep perubahan sosial. Kamu membayangkan pasar di Belanda mirip pasar wage, pasar pon, pasar kliwon, pasar legi dan pasar pahing. Keramaian yang menjadi sentral transaksi jual beli. Ternyata kebanyakan supermarket.

Orang bebas masuk, tidak ada pemeriksaan. Tas, jaket, wadah apa saja tak perlu dititipkan. Pengunjung tinggal memilih dan membawa barang. Tapi keamanan elektronik terjaga. Pencurian barang tak mungkin terjadi karena bel akan berdering. Berarti ada yang tidak beres. Maka petugas dengan mudah akan mengetahui. Peralatan serba elektronik ini menuntut seseorang untuk jujur.



5. Mengajar Gamelan dan Seni Kerawitan. 

Kursus gamelan dan wayang dipersembahkan buat anak-anak, mahasiswa, dosen dan masyarakat Enschede. Program dirancang dengan cermat supaya makna yang ingin disampaikan tepat sasaran. Pengkajian pada masing-masing strata sosial menggunakan metode yang berlainan. Tugas ini sekaligus untuk menambah kedudukan gamelan sebagai warisan budaya dunia yang kuncara.

Mahasiswa dan dosen kita ajak main gamelan. Lagu-lagunya meliputi Jamu, Prau Layar, Gundhul-gundhul Pacul, Burung Kakaktua, Soleram, Tanduk Majeng, Kecik Manila. Lagu-lagu ini sudah amat populer di Belanda. Kita melakukan kolaborasi tidak ada masalah sama sekali. Semua berjalan lancar, tidak mengalami kesulitan apapun.

Program platihan gamelan dan wayang untuk masyarakat tidak berbeda dengan yang ditujukan untuk kalangan kampus. Hanya berbeda suasana. Masyarakat umum anggotanya orang-orang tua dan para pensiunan. Mungkin kegiatan seni untuk mengisi waktu luang dan sekedar kangen-kangenan. Salah satu dari mereka berasal dari Indonesia, tepatnya daerah Wonosobo. Namanya Ibu Sri Hartiningsih, bisa berbicara krama inggil yang sempurna. Orangnya halus dan merak ati.

Alangkah bahagianya orang-orang Indonesia yang telah lama bermukin di negeri kincir angin ini. Mereka rindu kampung halaman. Paguyubannya adalah Intervokal, sebuah group paduan suara di kota Enschede. Anggotanya dari beragam bangsa. Kehadiran kami disambut hangat.

Senyum, canda, guyon, menambah suasana akrab. Namanya Jan Freederick Munster, beliau datang ke Belanda tahun 1955. Waktu itu terjadi krisis politik. Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Jan Freederick Munster bercerita bahwa ibunya asli putri Solo, gelarnya Raden Rara. Bangga sekali dia masih keturunan ningrat.

Berikutnya adalah program melatih gamelan, tari dan nembang serta wayang untuk pelajar SD. Siswa-siswa SD ini bertaraf internasional. Mereka terdiri dari beragam asal-usul bangsa. Belanda, Jerman, Inggris, Perancis, Irak, Iran, Turki, Rusia, Afrika dan China. Wajahnya bersinar-sinar, raut mukanya terang-benderang penuh harapan. Semangatnya menyala-nyala, apresiatif dan responsif. Namun tetap tertib, santun, sopan dan amat menghargai.

Mula-mula kami sajikan gendhing soran Kebo Giro. Seperti layaknya iringan gendhing pedalangan. Kebo Giro ini memang cocok untuk menyambut tamu yang baru saja datang. Kira-kira 3 menit lantas disuwuk.

Kunci sukses kunjungan kali ini tidak lepas dari jasa baik Prof. Annie Makkind. Beliau terus-menerus mengawal, mulai dari penjemputan, perjalanan, penginapan dan pembelanjaan dipantau terus. Saat tiba di Amstedam beliau membagi jaket, khawatir bila kami kedinginan. Semua anggota rombongan disuruh mencoba satu demi satu. Kesehatan kami jangan sampai terganggu. Betul juga, kami merasa aman dan nyaman.

Pengayoman, pembimbingan dan pelayanan prima membuat kami terharu. Hati yang bersih, ramah, teduh dan sejuk kami temukan pada diri Prof. Annie. Orangnya sudah sepuh, beliau punya anak dan cucu. Semua sudah berkeluarga. Meskipun sudah berusia lanjut, wajahnya tetap memancarkna aura, kharisma, wibawa, cantik, agung dan anggun. Kalau menggunakan busana serba pas. Sarwa sarwi gandhes luwes merak ati.

Kami diundang makan malam di rumahnya. Bangunan rumah itu juga asri. Untuk ukuran masyarakat Belanda termasuk kawasan elit. Bertingkat dua, tertata rapi. Perlengkapan rumah lengkap, meja kursi dan hiasan klasik. Tak ketinggalan, piano dan alat musik. Dapur, ruang makan tersusun dengan indahnya. Di belakang rumah adalah ruang santai untuk diskusi. Belakang lagi ada taman bunga. Pohon-pohonnya tinggi dan lebat. Sejak dulu kala orang Belanda hebat dalam hal tata bangunan, arsitektur dan komposisi ruang.

Menu makanan yang disuguhkan yaitu nasi, tempe, ikan asin dan sayur lodeh. Cita rasa yang kami rindukan. Berhari-hari kami puasa makan nasi. Menu roti tawar dan jus ala Belanda bagi kami tetap hambar, anyep dan cemplang. Tuan rumah ternyata mengerti perasaan kami. Untuk soal kehati-hatian, Bu Annie jelas melampaui kepribadian yang amat sempurna.

Saudara Bu Annie ada yang tinggal di Klaten Jawa Tengah. Jadi kalau berkunjung ke Indonesia, beliau mesti dhahar dan sare di kota sebelah Solo. Jenis-jenis masakan, seni, busana dan budaya orang Jawa betul-betul dikuasai. Dalam tembang Sinom ada pitutur luhur yang pantas direnungkan, amemangun karyenak tyasing sasama. Bu Annie sudah mengamalkan.

6. Pagelaran Seni Budaya di Kota Enschede. 

Pagelaran wayang purwa pada tanggal 2 Oktober 2010 tepatnya di Gedung Kesenian Enschede. Penontonnya terbuka untuk umum. Masyarakat Nederland ternyata begitu antusias menyaksikan lakon Ramayana. Hilir mudik orang berdatangan. Orang Belanda memang haus hiburan. Apalagi yang bernuansa tradisional. Seni Jawa termasuk yang disukai oleh karena itu perlu pelestarian. 

Keplok gumuruh ambal-ambalan menggema dalam gedung. Para hadirin tersenyum-senyum terhibur bahagia. Sebagian mereka datang dari kota Utreech yang jaraknya lebih kurang 130 km dari kota Enschede. Barangkali berkunjung ke kota musik ini merupakan wisata kultural guna memperoleh keseimbangan hidup.

Paripurna pentas wayang purwa di Enschede itu ada seorang penonton berkewarganegaraan Jepang bernama Kew Sekine. Dia mengejar-ngejar kami untuk terus bisa berkomunikasi. Sepertinya mereka berkesan dan terhibur.

Panggung terbuka bertempat di Alun-alun Van Heek. Letaknya di sebelah gedung walikota Enschede. Tiap-tiap hari minggu diadakan pentas kolosal. Umumnya marching band. Kostum, topi, alat musik, peserta serba gemerlapan. Sama dengan penampilan marching band Indonesia, hanya di sana jelas lebih bagus. Memang awalnya dari sana. Kita cuma meniru. Unggulannya berbeda. Kita tetap membanggakan gamelan.

Alun-alun ini dikelilingi pedagang kaki lima (PKL). Namun diatur dengan ketat sehingga terhindar dari konflik. Tenda-tenda yang dipasang hanya diperbolehkan pada hari Minggu. Syarat utama adalah kedisiplinan, kebersihan dan keteraturan. Pelanggaran atas aturan didenda mahal. Selain hari Minggu alun-alun kosong. Tidak boleh ada aktivitas jual beli. Mereka bisa berjualan dengan ijin khusus dan pajak yang amat mahal. Kontrol benar-benar dilakukan demi keserasian.

Penontonnya berada di luar pagar. Kalau di Jawa mirip dengan pertunjukan jathilan. Tari jaran kepang yang ditampilkan di alun-alun Jawa mesti dilihat oleh masyarakat dengan semangat. Hiburan gratis dan merakyat sepantasnya sering disajikan. Rasa penat, lelah, capai setelah bekerja, rakyat butuh istirahat dan menyegarkan pikiran. Bila mungkin seni rakyat dipentaskan secara bergilir. Setiap kecamatan diwajibkan mengirimkan tim seni. biayanya gotong royong. Alasan kekurangan dana jangan mengurangi jadwal pentas. Sebenarnya menggelr seni rakyat dan pementasannya tidak mahal. Partisipasi publik dimobilisasi. Apresiasi dilakukan dengan cara sederhana.

Jika diamati dengan seksama, alun-alun di Indonesia jelas lebih luas, anggun dan asri. Sebenarnya alun-alun Van Heek hanya pelataran gedung. Lantainya batu bata yang ditata mirip paving. Tujuannya supaya orang tua yang sudah kurang kuat badannya bisa lewat dengan kursi roda. Kebutuhan dasar untuk jalan benar-benar diperhatikan. Orang cacat dijaga perasaannya. Kursi roda bermesin dan beroda tiga lalu lalang melewati kota.

Selama kurang lebih 10 hari berada di tlatah bawahan Ratu Beatrick tersebut, ternyata kami juga menjumpai pengemis. Kami kaget. Orang Belanda kok mengemis. Kasta sudra di mana-mana tetap ada. Juga saat-saat ada keramaian muncul pula pengamen dengan alat musik sederhana. Sama dengan Indonesia. Keberadaan gelandangan dan pengemis ini cukup merepotkan pemerintah setempat.

Kegiatan terakhir pada tanggal 3 Oktober 2010 ini adalah ikut meramaikan alun-alun Enschede. Bonang, saron, demung, kendang, kenong dan kempul turut serta mewarnai suasana. Ke depan perlu adanya variasi musik dari etnis lain misalnya Sunda, Bali, Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Kita suguhkan konsep Bhinneka Tunggal Ika.

Acara selanjutnya yaitu penutupan. Paguyuban paduan suara internasional menjamu makan malam di Hotel Amadeus. Perpisahan ini sekaligus tanda persahabatan selama satu Minggu latihan dan pentas seni bersama. Menu Indonesia yaitu nasi, sayur lodeh dan krupuk. Di sela-selanya diselngi lagu-lagu Ambon. Suasana benar-benar seperti di tanah air.

Pada hari Senin tanggal 4 Oktober 2010 tepat pukul 07.00 waktu Enschede, kami segera bersiap-siap untuk naik bis jemputan menuju ke bandara Schiphol Amsterdam. Pukul 11 terbang untuk menuju Kualalumpur. Singgah selama 3 jam kemudian diteruskan dengan ganti pesawat untuk pulang kampung ke negeri Indonesia tercinta. Pada hari Selasa tanggal 5 Oktober 2010 pukul 10 pagi kami sudah berjumpa sanak kadang pawong mitra. Rum kuncaraning bangsa dumunung ing luhuring budaya.

Negeri Belanda begitu populer di Indonesia. Masa silam yang penuh kenangan. Energi positif untuk menata masa depan yang cemerlang. Pelajaran masa silam sungguh mengagumkan dunia.

Posting Komentar

0 Komentar