Oleh: Asrizal Nilardin, S.H.,M.H (Peneliti LISAN INSTITUTE)
|KlikJogja.Com| - Badan Legislasi DPR telah menyepakati keputusan atas perubahan UU kementrian negara menjadi RUU usul inisiatif DPR. Itu artinya, perubahan UU kementrian negara telah memasuki fase penting sebagai bagian inheren dari program legislasi nasional untuk dilanjutkan dalam rapat paripurna DPR. Sebelumnya, UU Kementrian Negara telah masuk dalam daftar prolegnas 2020-2024 yang diusulkan pada 17 Desember 2019. Dengan demikian, wacana perubahan UU ini tidak hadir secara ujug-ujug, melainkan telah melalui proses legislasi yang panjang.
Sasaran perubahan juga hanya difokuskan pada satu pasal yang memang secara konseptual kontradiktif dengan sistem presidensial. UUD 1945 tidak mengatur jumlah maksimal batasan kementrian negara. Konstitusi hanya menegaskan eksistensi tiga kementrian negara; kementerian dalam negeri, kementerian luar negeri, dan kementerian pertahanan (trium virat). Tiga kemeterian itu harus ada karena menyangkut dengan kedaulatan negara apabila terjadi keadaan tertentu terhadap Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan.
Kementrian dalam sistem presidensial
Karakteristik dari sistem presidensial ialah kabinet tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Karenanya Presiden diberikan hak prerogatif dalam menentukan, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Pasal 17 UUD 1945 secara eksplisit megaskan hak prerogatif Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri. Kedudukan menteri dalam sistem Presidensial ialah dalam rangka membantu tugas-tugas Presiden, dan menteri hanya bertanggung jawab kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Pengaturan jumlah maksimal kementerian sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU 39 Tahun 2008 sejatinya tidak relevan dengan sistem presidensial dan bertentangan dengan UUD 1945. Semangat amandemen UUD 1945 diantaranya memperkuat sistem presidensial. Bahkan, DPR tidak diberikan kewenangan dalam mengusulkan atau menentukan komposisi kabinet. Menjadi paradoks manakala jumlah kabinet harus ditentukan dengan jumlah maksimal tertentu. Sekalipun diatur pada level UU, hal itu adalah bentuk reduksi atas sistem presidensial sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi.
Para perumus perubahan UUD 1945, tidak mengantur secara spesifik kedudukan kementerian negara. Bab kemeterian negara hanya mengatur 1 pasal dan terdiri dari 4 ayat. Keadaan itu dapat dipahami karena perumus perubahan menyadari betul bahwa itu merupakan kebutuhan yang bersifat dinamis dan kondisional. Disebut dinamis dan kondisonal dengan penentuan kebutuhan seutuhnya merupakan kewenangan Presiden.
Sesuai Kebutuhan Presiden
Kedudukan menteri sebagai pembantu presiden harus dipahami bahwa tugas menteri adalah melaksanakan visi dan misi Presiden. Begitu juga, penentuan tugas, nomenklatur, serta komposisi menteri disesuaikan dengan visi dan misi presiden. Bila diperlukan, penambahan kabinet dalam rangka merealisasikan visi dan misi dapat dilakukan oleh presiden. Sehingga tugas-tugas sektor kementerian menjadi jauh lebih terukur dan terarah.
Salah satu problem tugas sektor kementerian ialah cakupan tugas yang dimiliki oleh satu kementerian melingkupi berbagai bidang. Dari segi geografis dan sosio-cultur masyarakat Indonesia, maksimal 34 kementerian masih tergolong sedikit dan belum proporsional bila dibandingkan dengan persebaran wilayah, populasi penduduk, hingga aspek keberagaman.
Perihal kekhawatiran berbagai pihak soal beban anggaran yang bertambah, telah diantipasi dengan skema rencana yang matang. Jumlah anggaran tetap mengacu pada jumlah alokasi anggaran untuk seluruh kementerian sebelumnya. Artinya, untuk alokasi anggaran bagi kementerian baru dapat dikurangi dari anggaran keseluruhan kementrian yang ada. Pengurangan anggaran dari kementerian juga berkorelasi dengan telah berkurangnya beban tugas dari kementerian tersebut. Kementerian lama yang salah satu sektor tugasnya diambil alih oleh kementerian baru, maka secara otomatis akan dilakukan pengurangan anggaran. Sehingga alokasi anggaran tetap sesuai dengan jumlah saat ini tanpa membebankan APBN.
Pasal 15 UU 39 Tahun 2008 secara konstektual tidak relevan lagi dengan tuntutan fleksibilitas Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan di era kekinian. Tuntutan dan kompleksitas kehidupan berbangsa dan bernegara saban hari mengalami perubahan yang sangat pesat. Terlebih di bidang urusan pemerintahan negara, cepatnya perubahan zaman harus ditopang dengan fleksibiliti kewenangan pemerintahan dalam mengambil keputusan cepat, terukur dan terarah. Termasuk kewenangan Presiden dalam menentukan komposisi dan jumlah kementerian negara. Selaiknya, kewenangan penentuan jumlah kabinet harus sepenuhnya diserahkan kepada Presiden sehingga dalam keadaan tertentu dapat berubah sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman. (*)
0 Komentar